Minggu, 15 April 2012

TUGAS UTS SISTEM SOSIAL

DAMPAK URBANISASI DI KOTA SURABAYA TERHADAP KONDISI SOSIAL MASYARAKAT SETEMPAT

ABSTRAK

Dewasa ini fenomena urbanisasi telah menjadi pembicaraan umum masyarakat luas. Urbanisasi dianggap sebagai suatu arus yang belum atau bahkan mungkin tidak dapat teratasi dan terelakkan oleh kota-kota besar di dunia. Urbanisasi sering disebabkan oleh perpindahan dan mobilitas penduduk dari desa dan kota sehingga menimbulkan masalah sosial ekonomi baik di tempat tujuan maupun daerah asal urbanisasi.

Kota Surabaya termasuk dalam deretan kota besar di Indonesia yang mengalami fenomena urbanisasi besar-besaran. Daya tarik ekonomi kota besar seperti Kota Surabaya menjadikan penduduk dari berbagai daerah menjadikan Kota Surabaya sebagai tempat tujuan perpindahan penduduk yang diharapkan dapat meningkatkan perekonomian mereka. Namun, apabila urbanisasi tidak diimbangi dengan sumberdaya manusia yang berkualitas maka timbullah permasalahan-permasalahan ekonomi yang akhirnya menjalar menjadi permasalahan- permasalahan sosial pula. Permasalahan yang timbul berupa kemiskinan, kesenjangan sosial, dan munculnya pemukiman-pemukian kumuh di Kota Surabaya. Hal ini tentu menjadi focus perhatian khayalak umum untuk mencapai solusi dalam mengurangi dampak negatif urbanisasi.

Kata kunci : Urbanisasi, Dampak, Kota Surabaya, Kondisi Sosial

PENDAHULUAN

Pertumbuhan penduduk menjadi salah satu masalah penting yang dihadapi kota-kota besar terutama di negara berkembang pada saat ini. Pertumbuhan dan konsentrasi penduduk di kota-kota besar ini diikuti oleh urbanisasi sehingga menimbulkan permasalahan-permasalahan ekonomi sosial yang tidak dapat terelakkan. Selain itu kecepatan industrialisasi yang tidak sebanding dapat memparah masalah-masalah tersebut di kota tujuan urbanisasi.

Berbeda dengan negara yang sudah maju di mana urbanisasi terjadi sebagai akibat dari pergeseran struktur mata pencaharian penduduk dari sektor pertanian di pedesaan ke sektor jasa di kota melalui sektor industri manufaktur. Urbanisasi di negara-negara berkembang terjadi karena tekanan perubahan yang dahsyat yang terjadi di pedesaan dan mendorong pergeseran akupansi dari sektor pertanian langsung menuju kesektor jasa di daerah perkotaan tanpa melalui fase perkembangan industri manufaktur (Gilbert & Gugler, 1996:14). Selain itu penduduk yang berurbanisasi kebanyakan adalah masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah dan Kemampuan sosio ekonomi penduduk yang terbatas sehingga penduduk yang berurbanisasi di kota tersebut justru mengalami penurunan kualitas hidup yang amat memprihatinkan.

Kota Surabaya merupakan ibukota Provinsi Jawa Timur yang merupakan salah satu kota besar di Indonesia. Seperti kota-kota besar lainnya di Indonesia yaitu Jakarta, Semarang dan Medan, Kota Surabaya pun menghadapi permasalahan yang hampir sama. Salah satu masalah yang kini dianggap penting adalah urbanisasi.

Kota Surabaya pada awalnya adalah sebuah kota pantai yang menarik penduduk untuk menetap di kota tersebut karena aktivitas perdagangannya yang dekat dengan laut atau peraiaran. Hal tersebut mendorong terjadinya perubahan dari daerah yang bersifat pedesaan dengan sektor utama pertanian berubah menjadi daerah yang bersifat kekotaan dengan sektor utama industri, perdagangan dan jasa. Namun perubahan ini tidak sebanding apabila dikaitkan dengan jumlah penduduk yang datang. Proses industrialisasi yang kalah cepat dengan penduduk yang berbondong-bondong bermigrasi ke Kota Surabaya menyebabkan ketidakmampuan lapangan pekerjaan di Kota Surabaya dalam menampung penduduk tersebut. Hal itu kemudian menimbulkan persaingan yang ketat dalam memperoleh perkerjaan di Kota Surabaya padahal sebagian besar penduduk yang datang ke Kota Surabaya adalah penduduk dengan tingkat pendidikan yang rendah. Masalah inilah yang kemudian memunculkan permasalahan seperti penganguran, timbulnya pemukiman kumuh dan turunnya kesejahteraan sosial.

Konsentrasi penduduk di Kota Surabaya juga berimbas pada kota-kota di sekitarnya yang menjadi daerah hinterland atau daerah penyangga Kota Surabaya seperti Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Sidoarjo, Lamongan, Bojonegoro, Tuban, Jombang dan Pasuruan. Urbanisasi yang terjadi kemudian meluas karena kebutuhan penduduk akan ruang sudah tidak mampu lagi ditampung di Kota Surabaya sebagai Primary City. Hal ini lah yang menyebabkan urbanisasi yang dipengaruhi oleh perpindahan penduduk maupun mobilitas penduduk di Kota Surabaya perlu mendapat perhatian lebih dari masyarakat maupun Pemkot Surabaya dan Pemerintah pusat sehingga diharapkan efek negatif dari urbanisasi dapat diminimalisir dan efek positifnya dapat dimaksimalkan.

KAJIAN LITERATUR

Urbanisasi memiliki beberapa pengertian dari berbagai sudut pandang. Dalam ilmu demografi, urbanisasi berarti pertambahan presentase jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan terhadap jumlah penduduk nasional. Sedangkan geograf De Bruijine (Dalam Daldjoeni 1998) menjelaskan terdapat setidaknya tujuh pengertian urbanisasi, yaitu :

1. Pertumbuhan presentase penduduk yang bertempat tinggal di perkotaan

2. Berpindahnya penduduk ke kota-kota dari pedesaan

3. Bertambahnya penduduk bermatapencaharian non agraris di pedesaan

4. Tumbuhnya suatu pemukiman menjadi kota

5. Mekarnya atau meluasnya struktur artefaktial-morfologis suatu kota di kawasan sekelilingnya.

6. Meluasnya pengaruh suasana ekonomi kota ke pedesaan

7. Meluasnya pengaruh suasana sosial, psikologis, dan kultural kota ke pedesaan, atau meluasnya nilai-nilai dan norma-norma kekotaan ke kawasan luarnya

Menurut Whyne (dalam Daldjoeni, 1998) terdapat faktor-faktor yang dapat mendorong urbanisasi, yaitu :

1. Kemajuan di bidang pertanian. Terdapatnya mekanisasi di bidang pertanian mendorong dua hal. Pertama, tersedotnya sebagian tenaga kerja agraris ke kota untuk menjadi buruh industri. Kedua, bertambahnya hasil pertanian untuk menjamin kebutuhan penduduk yang hidupnya dari pertanian.

2. Industrialisasi. Karena industri-industri bergantung pada bahan mentah dan sumber tenaga maka pabrik-pabriknya didirikan di lokasi sekitar bahan mentah dan sumber tenaga tersebut. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir biaya pengelolaan. Meminimalisir biaya pengelolaan ini juga dilakukan dengan cara memeperbanyak tenaga buruh, tenga buruh mereka bawa dan bekerja di pabrik tersebut sehingga memunculkan kota yang baru.

3. Potensi pasar. Berkembangnya industri ringan melahirkan kota yang menawarkan diri sebagai pasaran hasil yang diteruskan ke pasaran pedesaan. Kota-kota perdagangan tersebut kemudian menarik pekerja-perkerja baru dari pedesaan sehingga kota bertambah besar.

4. Peningkatan kegiatan pelayanan.industri tersier dan kuarter tumbuh dan meningkatkan perdagangan, taraf hidup dan memacu munculnya organisasi ekonomi dan sosial. Berbagai jenis jasa tumbuh di perkotaan seperti hiburan, catering, usaha perkantoran dan sebagainya.

5. Kemajuan transportasi. Kemajuan transportasi yang diiringi dengan kemajuan komunikasi mendorong majunya mobilitas peduduk, khususnya dari pedesaan ke kota-kota di sekitarnya.

6. Tarikan sosial dan cultural. Di kota banyak hal-hal yang dianggap menarik terutama oleh masyarakat pedesaan seperti gedung bioskop, museum dan tempat rekreasi.

7. Kemajuan pendidikan. Sekolah-sekolah di perkotaan dianggap memiliki kualitas yang lebih baik daripada sekolah-sekolah di pedesaan sehingga mendorong kaum muda untuk pindah ke kota. Selain itu, media komunikasi missal yang berpusat di kota seperti surat kabar dan radio makin menyadarkan masyarakat pedesaan akan arti pentingnya pendidikan untuk kesuksesan dalam usaha.

8. Pertumbuhan penduduk alami. Di samping penduduk kota bertambah oleh masuknya urbanisasi, angla kelahiran di kota juga cenderung lebih tinggi daripada pedesaan karena fasilitas kesehatannya lebih berkualitas.

PEMBAHASAN

Kota Surabaya terletak diantara 07012’ - 07021’ Lintang Selatan dan 112036’ - 112054’

Bujur Timur, merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Batas-batas wilayah Kota Surabaya adalah sebagai berikut.

· Batas Utara : Selat Madura

· Batas Selatan : Kabupaten Sidoarjo

· Batas Timur : Selat Madura

· Batas Barat : Kabupaten Gresik

Topografi Kota Surabaya meliputi:

· Kota pantai

· Dataran rendah antara 3-6 m di atas permukaan laut

· Daerah berbukit, di Surabaya bagian selatan 20-30 m di atas permukaan laut

Wilayah Kota Surabaya dibagi dalam 31 kecamatan dan 163 kelurahan dengan jumlah penduduk sampai dengan tahun 2002 mencapai 2.484.583 jiwa. Dengan luas wilayah 326,36 km2, maka kepadatan penduduk rata-rata adalah 7.613 jiwa per km2.

Surabaya adalah kota metropolitan, pusat perdagangan dan pendidikan yang mengalami perkembangan pesat. Industri-industri utamanya antara lain pembuatan kapal, alat-alat berat, pengolahan makanan dan agrikultur, elektronik, perabotan rumah tangga serta kerajinan tangan.

Sebagai kota metropolitan, Surabaya menjadi pusat kegiatan perekonomian di daerah Jawa Timur dan sekitarnya. Sebagian besar penduduknya bergerak dalam bidang jasa, industri, dan perdagangan sehingga jarang ditemukan lahan persawahan. Banyak perusahaan besar yang berkantor pusat di Surabaya, seperti PT Sampoerna Tbk, Maspion, Wing's Group, Unilever, dan PT PAL. Kawasan industri di Surabaya diantaranya Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER) dan Margomulyo. Sektor industri pengolahan dan perdagangan yang mencakup juga hotel dan restoran, merupakan kontributor utama kegiatan ekonomi surabaya yang tergabung dalam nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

Sektor perdagangan mampu menyumbang 29,50% pada tahun 1991 dan terus meningkat menjadi 33,86% pada tahun 2001 dari PDRB Surabaya. Dengan mengemban fungsi sebagai kota perdagangan, Surabaya merupakan jembatan penghubung timbal balik antara produsen dengan konsumen. Pembangunan bidang industri diupayakan juga mencakup pada pengembangan industri rumah tangga, industri kecil dan industri menengah. Saat ini, di Surabaya diperkirakan terdapat 11.142 pabrik yang menyerap 309.223 tenaga kerja.

Surabaya sebagai permukiman pantai adalah pintu keluar dan masuk bagi hinterland yang subur dan kaya hasil bumi, telah menjadikannya sebuah kota dagang. Indikasi kota Surabaya sebagai kota dagang semakin nyata ketika pada tahun 1870 pemerintahan Belanda mengeluarkan peraturan tentang gula dan agraria yang memberikan kemudahan bagi pihak swasta untuk dapat menyewa tanah bagi keperluan pengembangan usaha.

Data semester pertama 2011 menunjukan laju yang sangat cepat. Jika itu tidak diantisipasi, akan muncul banyak problem kependudukan pada masa mendatang. Dalam enam bulan pertama tahun ini, penduduk Surabaya bertambah 36.577 jiwa. Artinya, per bulan pertambahan Kota Pahlawan mencapai 6.096 jiwa.

Jika di rata-rata, per hari jumlahnya mencapai 203 jiwa. Jumlah itu meningkat cukup drastis jika dibandingkan dengan periode yang sama pada semester pertama 2010. saat itu pertambahan pemduduk selama enam bulan mencapai 26.832 jiwa. Tingginya pertambahan penduduk selama semester pertama 2011 tidak lepas dari banyaknya penduduk luar Surabaya yang masuk ke kota Pahlawan. Angka pindah masuk di Surabaya hingga enam bulan ini mencapai 9.438 jiwa. Sedangkan pindah keluar tercatat 3.032 jiwa. Untuk jumlah kelahiran, yang terdata 34.113 jiwa. Sebaliknya, jumlah kematian berada di angka 3.032 jiwa. Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi ini juga diperburuk dengan banyaknya perpindahan penduduk dari desa ke Kota Surabaya yang memicu timbulnya urbanisasi.

Dari data Dinas Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil Kota Surabaya, di tahun 2005 penduduk yang masuk ke Surabaya sebesar 32.386, di 2006 naik menjadi 32.912 dan di 2007 sedikit menurun menjadi 32.685 dan 2009 langsung melonjak hingga 50.300 orang. Angka tersebut belum mencerminkan kondisi sebenarnya. Yang terjadi di lapangan dipastikan jauh lebih besar bahkan dua kali lipat dibandingkan angka tersebut.

Berdasarkan faktor-faktor pendorong urbanisasi menurut Whyne, selain pertumbuhan penduduk urbanisasi di Kota Surabaya disebabkan oleh beberapa fenomena. Fenomena yang melatarbelakangi urbanisasi tersebut antara lain :

1. Industrialisasi

Industrialisasi adalah suatu proses perubahan sosial ekonomi yang merubah sistem pencaharian masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Industrialisasi juga bisa diartikan sebagai suatu keadaan dimana masyarakat berfokus pada ekonomi yang meliputi pekerjaan yang semakin beragam (spesialisasi), gaji, dan penghasilan yang semakin tinggi. Industrialisasi di Kota Surabaya sama kondisinya dengan kota-kota besar lain di Indonesia yang merupakan bagian dari proses modernisasi. Hasil dari proses industrialisasi adalah pembangunan Kota Surabaya yang terlihat secara fisik dalam bentuk wajah kota yang dihiasi dengan berbagai macam aksesori seperti Munculnya gedung-gedung pencakar langit, perkantoran modern, perhotelan, perumahan mewah, dan berbagai macam simbol kapitalisme lainnya. Belum lagi tempat dan pusat-pusat perbelanjaan modern (seperti plasa, mal), tempat-tempat hiburan (diskotek, night club)-telah berkembang cukup pesat.

2. Potensi Pasar

Kota Surabaya merupakan kota pantai yang sejak jaman Kerajaan Majapahit merupakan kota dagang yang ramai. Seiring berkembangnya kota perdagangan ini maka berlangsunglah proses industrialisasi dan Kota Surabaya ini merupakan kota pusat pemasaran dan perdagangan barang-barang dari daerah sekitarnya. Hal ini terbukti dengan majunya fasilitas perdagangan seperti pasar tradisional dan mall-mall modern. Barang yang diperdagangkan di Kota Surabaya juga heterogen dari barang kebutuhan sehari-hari hingga barang-barang mewah seperti mobil dan perhiasaan. Daerah-daerah pemasok hasil pertanian yang dipasarkan ke Kota Surabaya adalah Sumenep, Madura. Hal ini dikarenakan Kota Surabaya tidak memiliki lahan pertanian yang cukup untuk menghasilkan produk-produk unggulan pertanian. Sementara itu barang-barang kerajinan seperti tas dan sepatu dipasok dari Kota Sidoarjo sebab di Kota Sidoarjo biaya tenaga kerja tidak semahal di Kota Surabaya sehingga mampu meminimalisasi biaya produksi.

3. Kemajuan Transportasi

Sebagai pusat dari wilayah Gerbangkartasusila, Kota Surabaya memiliki fasilitas transportasi yang cukup lengkap dan modern. Fasilitas tersebut antara lain :

Jalan Raya

Surabaya merupakan pusat transportasi transportasi darat di bagian timur Pulau Jawa, yakni pertemuan dari sejumlah jalan raya yang menghubungkan Surabaya dengan kota-kota lainnya. Jalan tol termasuk ruas Surabaya-Gresik, Surabaya-Waru-Gempol, dan Waru-Bandara Juanda. Saat ini telah dikaji rencana pembangunan jalan tol dalam kota Lintas Tengah dan Lintas Timur untuk mengurangi kemacetan. Jalan tol yang akan segera dibangun adalah Surabaya-Mojokerto-Kertosono. Untuk menghubungkan Surabaya dengan pulau Madura, terdapat Jembatan Suramadu yang merupakan jembatan terpanjang di Indonesia.

Bus

Hubungan bus antarkota dilayani oleh dua terminal bus besar, yaitu Terminal Bus Purabaya (Bungurasih) dan Terminal Bus Tambak (Osowilangun). Terminal Bus Purabaya atau lebih populer dengan nama Terminal Bungurasih, merupakan terminal bus tersibuk di Indonesia (dengan jumlah penumpang hingga 120.000 per hari), dan terminal bus terbesar di Asia Tenggara. Terminal ini berada di luar perbatasan Kota Surabaya dengan Kecamatan Waru, Sidoarjo. Terminal ini melayani rute jarak dekat, menengah, dan jauh (AKAP). Terminal Bus Tambak (Osowilangun) melayani angkutan jarak dekat dan menengah lintas utara hingga ke Semarang.

Kereta Api

Kota Surabaya dihubungkan dengan sejumlah kota-kota di Pulau Jawa melalui jalur kereta api. Surabaya memiliki 4 stasiun kereta api besar: Wonokromo, Gubeng, Surabaya Kota, Stasiun Pasar Turi. Stasiun Pasar Turi melayani jalur kereta api bagian utara Pulau Jawa dengan jurusan Surabaya-Semarang-Pekalongan-Tegal-Cirebon-Jakarta (Gumarang, Sembrani, Argo Anggrek), Jalur kereta api termasuk jurusan Surabaya-Malang-Blitar (Penataran), Surabaya-Kertosono-Blitar (Dhoho), Surabaya-Bojonegoro-Cepu (KRD), Surabaya Gubeng-Jember-Banyuwangi (Mutiara Timur), Jember-Surabaya-Yogyakarta-Purwokerto (Logawa), Banyuwangi-Yogyakarta (Sritanjung), Surabaya Gubeng-Kiaracondong (Pasundan),Surabaya-Lempuyangan-Jakarta (GBMS), Surabaya-Semarang Poncol-JAKK (Kertajaya) dan kereta rel diesel SAKK-Porong (Komuter). Nama-nama kereta tersebut merupakan kereta kelas ekonomi ( Kawula Alit )

Pesawat

Bandara Internasional Juanda, adalah bandar udara internasional yang melayani kota Surabaya, Jawa Timur dan sekitarnya. Bandara Internasional Juanda terletak di Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo, 20 km sebelah selatan kota Surabaya. Bandara Internasional Juanda dioperasikan oleh PT Angkasa Pura 1. Bandara ini memiliki panjang landasan 3000 meter. Bandara Juanda yang baru memiliki luas sebesar 51.500 m², atau sekitar dua kali lipat dibanding terminal lama yang hanya 28.088 m². Bandara baru ini juga dilengkapi dengan fasilitas lahan parkir seluas 28.900 m² yang mampu menampung lebih dari 3.000 kendaraan. Bandara ini diperkirakan mampu menampung 6 juta hingga 8 juta penumpang per tahun dan 120.000 ton kargo/tahun. Bandara yang baru ini memiliki 11 airbridge atau garbarata. Bandara Juanda yang baru sudah dioperasikan mulai dari tanggal 07 November 2006, walaupun baru diresmikan pada tanggal 15 November 2006 oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Bandara Juanda baru terdiri dari tiga lantai.

Terminal Baru dibagi menjadi dua terminal: Terminal A atau Terminal Internasional dan Terminal B atau Terminal Domestik. Maskapai penerbangan Garuda Indonesia domestik menggunakan Terminal A sebagai terminal keberangkatan domestik mereka, sedangkan Terminal B sebagai terminal kedatangan domestik mereka. Semua penerbangan internasional Garuda Indonesia tetap terbang atau mendarat dari Terminal A. Kebanyakan penerbangan di terminal baru ini sudah menggunakan garbarata/belalai gajah, tetapi tetap ada yang masih menggunakan tangga, terutama bagi pesawat-pesawat domestik.

Bus DAMRI disediakan oleh pemerintah setempat yang dapat mengantarkan penumpang ke Terminal Purabaya/Bungurasih dengan biaya Rp 15.000,-. Pada bulan November 2006, bertepatan dengan pembukaan bandara baru, sistem transportasi bus baru tersebut mulai dioperasikan.

Angkutan dalam kota dan regional

Angkutan dalam kota dilayani oleh taksi, bus kota (AC/Non AC), angkutan kota (lebih dikenal dengan sebutan Bemo), angguna (seperti taksi namun tanpa AC, dan memiliki bentuk khas), dan becak (meski kini semakin dibatasi penggunaannya). Surabaya memiliki sejumlah terminal dalam kota, antara lain Joyoboyo, Bratang, dan Jembatan Merah.

Untuk angkutan skala regional, terdapat Kereta Komuter yang menghubungkan Surabaya-Sidoarjo-Porong, Surabaya-Lamongan, Surabaya-Mojokerto dan tengah dipersiapkan jalur lintas dalam kota Benowo - Kalimas (Perak) – Waru dan juga akan direncanakan pembangunan monorel seperti yang sedang dikembangkan di Jakarta. Pembangunan monorel Surabaya akan mengikuti jalur Ujung (Perak)-Bundaran Waru. Dalam waktu dekat segera direalisasikan jalur busway koridor Utara - selatan dan timur - barat sebagai model transportasi modern

4. Tarikan Sosial dan Cultural

Kota Surabaya memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat luar. Budaya masyarakat Kota Surabaya kalangan atas seperti makan di restoran mahal, mengendarai mobil-mobil mewah dan pergi berekreasi ke museum atau bioskop telah menarik perhatian masyarakat luar untuk ikut merasakan hingar binger Kota Surabaya. Hal ini lah yang secara social budaya mempengaruhi keinginan masyarakat pedesaan untuk berpindah dan bermukim di Kota Surabaya.

5. Kemajuan Pendidikan

Sebagai kota pendidikan, Kota Surabaya telah menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, meliputi tingkat pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi. Hampir di semua bidang ilmu pengetahuan dengan tingkat strata dari akademi dan politeknik, dari S-0, S-1, S-2 hingga S-3, dapat ditemukan di lembaga pendidikan di Surabaya.

Perguruan tinggi yang ada di Surabaya, tidak saja mampu menampung mahasiswa yang berasal dari Kota Surabaya, namun juga mahasiswa yang berasal dari daerahdaerah lain di Indonesia. Keberadaan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) semakin memperkuat dunia pendidikan di Surabaya. Bahkan beberapa PTS telah berkembang dengan sangat pesat, dan mampu berprestasi, seperti halnya pada Perguruan Tinggi Negeri. Surabaya juga memiliki sejumlah lembaga pendidikan praktis yang sifatnya non formal (dalam bentuk kursus-kursus singkat) yang dibuka dalam rangka memenuhi permintaan pasar kerja atas kebutuhan tenaga madya di pelbagai bidang yang siap pakai, seperti di bidang bahasa Inggris, komputer, sekretaris, elektronik, perbengkelan, kelistrikan, perhotelan.

6. Perpindahan penduduk dan Mobilisasi Penduduk

Perpindahan penduduk pedesaan ke Kota Surabaya disebabkan oleh beberapa hal seperti keinginan masyarakat pedesaan yang ingin hidup sukses di kota, ingin memperoleh status social yang lebih tinggi, memperoleh pendidikan yang lebih baik dan sebagainya. Namun penduduk terutama tenaga kerja yang bermigrasi ke Kota Surabaya 90% adalah tenaga kerja yang tidak memiliki ketrampilan dan hanya 10% dari tenaga kerja tersebut yang dapat memberikan dampak langsung terhadap pembangunan Kota Surabaya.

Dalam proses urbanisasi dikenal adanya tiga macam proses, yakni:

1. Centripetal process; the flow of people from country sides to the urban area accompanied

with the change in behavior. Dalam proses ini terjadi aliran penduduk dari wilayah desa atau kota satelit menuju ke wilayah pusat kota yang diikuti oleh perubahan pola perilaku desa-tradisional dengan perilaku kota-modern.

Sebab-sebab aliran penduduk dari desa ke kota ini dapat digolongkan menjadi dua macam, yakni: (1) push factors (faktor pendorong), dan (2) pull factors (faktor penarik). Faktor-faktor pendorong meliputi kondisi desa yang menjadikan orang tidak mau lagi tinggal di desa, seperti: minimnya lapangan kerja, kekakangan adat, kurangnya variasi hidup, sempitnya kesempatan menambah pengetahuan, kurangnya sarana rekreasi ataupun sempitnya kesempatan mengembangkan keahlian dan ketrampilan. Sedangkan faktor penarik meliputi kondisi kota yang menjadikan orang-orang tertarik untuk tinggal menetap di kota, seperti: kesempatan kerja yang lebih luas, luasnya kesempatan mengembangkan ketrampilan dan keahlian, kesempatan dan fasilitas pendidikan yang lebih memadai, kelebihan modal, variasi hidup, banyaknya tempat hiburan, kebebasan hidup di kota dan anggapan bahwa kota memiliki tingkat kebudayaan yang lebih tinggi daripada desa.

2. Centrifugal process; urban extention in terms of physical, economic, technology and culture.

Dalam proses ini yang terjadi adalah meluasnya pengaruh kehidupan kota ke wilayah-wilayah pinggiran kota, dapat berupa perluasan fisik kota yang diikuti oleh perubahan kehidupan ekonomi, penggunaan teknologi maupun perubahan kebudayaan.

3. Vertical process: social, economic, culture, and behavior

Dalam proses ini yang terjadi adalah perubahan situasi atau iklim desa (rural sphere) menjadi kota (urban sphere), baik secara sosial, ekonomi, kebudayaan dan perilaku. Keadaan ini dapat terjadi antara lain oleh sebab-sebab:

a. daerah itu menjadi pusat pemerintahan

b. letaknya strategis untuk perdagangan

c. tumbuhnya industri

Seperti telah dijelaskan bahwa urbanisasi memiliki berbagai dampak, sebenarnya urbanisasi memiliki dampak positif namun yang terjadi di negara berkembang adalah sebaliknya bahwa urbanisasi memiliki dampak negatif terutama bagi perkotaan dan kondisi social masyarakatnya.

Pertama, perubahan yang paling nampak dalam aspek sosial budaya adalah dalam bidang pendidikan. Beberapa infor-man mengemukakan bahwa sejak sekitar dua puluh tahun terakhir ini, yaitu sejak berangsurnya penduduk Desa Jetis melaku-kan urbanisasi, maka kesadaran penduduk untuk menyekolahkan semakin meningkat. Bila pada tahun 1970-an kebanyakan orang tua hanya menyekolahkan hingga tamat SD, dan sangat sedikit yang menyekolahkan hingga sekolah lanjutan, kini sebagian besar telah menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke jenjang sekolah lanjutan atas, bahkan hingga perguruan tinggi. Di desa Jetis, tidaklah aneh bila orang tuanya bekerja di kota sebagai pedagang bakso, sementara anaknya kuliah di perguruan tinggi. Tanpa mengabaikan pengaruh varia-bel lain, misalnya fasilitas pendidikan yang semakin banyak hingga ke pelosok desa, urbanisasi berdampak pada peningkatan kesadaran menyekolahkan anak, wawasan dan pemikiran semakin terbuka setelah ba-nyak berhubungan dengan masyarakat luar, dan melihat perkembangan pembangunan yang terjadi di tempat lain. Apalagi ke-sadaran ini semakin ditunjang peningkatan pendapatan sehingga mereka mampu membiayai pendidikan anaknya.

Kedua, urbanisasi juga berdampak pada perubahan peranan dan tanggung jawab wanita. Kenyataan ini terutama nampak pada wanita yang ditinggal suaminya bekerja di kota, mereka harus bertindak sebagai kepala rumah tangga selama suaminya tidak ada di rumah. Wanita tidak hanya bertanggung jawab atas kegiatan di dalam rumah tangga, tetapi juga harus melakukan kegiatan kemasyarakatan atas nama suami. Secara tidak langsung mengubah kebiasaan menempat-kan kaum wanita hanya sebagai ibu rumah tangga serta berurusan dengan kegiatan wanita saja. Sebagaimana program pemerintah yang menuntut kaum wanita untuk turut serta dalam kegiatan di luar rumah tangga.

Ketiga, dampak urbanisasi juga ter-lihat pada kelembagaan keluarga, khususnya dalam sistem perkawinan, di mana sekarang ini orang tua tidak lagi dominan dalam menentukan pilihan jodoh bagi anaknya. Dalam kasus di Desa Jetis ini, banyak di antara pemuda-pemudinya yang memperoleh pasangan hidup dari luar daerah atas dasar pilihannya sendiri, dan kebanyakan jodohnya tersebut diperoleh di kota tempat mereka bekerja. Dampak lain adalah semakin meningkatnya usia perka-winan. Kalau pada tahun 1970-an anak gadis yang belum berumur 18 tahun sudah di-nikahkan, kini umur kawin telah meningkat dan cenderung “diprogram” oleh mereka sendiri.

Keempat, urbanisasi memberikan pengaruh pada meluasnya kerangka pemi-kiran penduduk desa serta mengubah perilaku masyarakat dari orientasi sosial ke orientasi komersial. Dalam hal ini telah terjadi perubahan apresiasi nilai uang pada seluruh warga desa, atau dengan kata lain meminjam istilah beberapa ahli, di desa tersebut telah terjadi monetisasi dan komersialisasi aktivitas yang semula bersifat sosial. Kegiatan gotong-royong yang selama ini dipandang merupakan aktivitas luhur yang kita banggakan kini semakin luntur. Contoh nyata dalam hal ini adalah bahwa dewasa ini kegiatan memperbaiki rumah, membangun pagar, membuat sumur, dan kegiatan-kegiatan lain di sekitar rumah tangga sekarang tidak lagi dilakukan dengan cara sambatan atau tolong-menolong antar tetangga, melainkan dilakukan dengan membayar tenaga tukang.

Kelima, dari segi hubungan kekera-batan, urbanisasi sering diasosiasikan dengan melemahnya atau longgar-nya hubungan kekerabatan. Dengan kata lain, makin meningkat kegiatan mobilitas penduduk akan semakin melonggarkan ke-terikatan mereka dengan kehidupan pen-duduk setempat. Lemahnya hubungan keke-rabatan sebenarnya tergantung dari persepsi yang diberikan. Secara fisik, memang kepergian mereka ke luar desa mengaki-batkan semakin berkurangnya kesempatan mereka untuk mengikuti acara atau peris-tiwa sosial di desa. Tetapi secara batiniah hubungan dan ikatan dengan daerah asal itu ada beragam perilaku. Ada yang memang merasa masih memiliki ikatan kuat dengan kerabatnya di desa. Hal ini ditunjukkan dengan perilaku kepulangan mereka setiap saat ke desa asal. Tetapi ada pula yang sudah mulai “ogah-ogahan” pulang ke desa, dan dengan demikian ikatan kekerabatan juga sudah melonggar.

Keenam, secara sosial, urbanisasi akan berpengaruh pada kesejahteraan ke-luarga migran yang bersangkutan. Hal ini berkait dengan kehidupan keluarga mereka yang terpaksa harus hidup terpisah sampai jangka waktu yang tidak diketahui batasnya. Sekalipun mereka pada waktu-waktu ter-tentu pulang ke desa, namun kese-jahteraan keluarga akan lebih terjamin bila mereka selalu berkumpul dalam satu rumah. Namun demikian, hal ini nampaknya tidak terlalu dirisaukan oleh orang desa, sebagai masyarakat desa yang biasa hidup sub-sistensi, nampaknya pemenuhan kebutuhan ekonomi lebih mendominasi pemikiran mereka dalam soal kesejahteraan hidupnya.

Ketujuh, orang-orang “sukses” di kota ini dapat menumbuhkan kemampuan dan keinginan untuk berkompetisi atau bersaing. Dari sisi positif kompetisi dan persaingan ini akan sehat dan baik apabila mendorong mereka terpacu dan semakin giat bekerja, sehingga keberhasilan ini akan semakin dapat dirasakan penduduk desa. Di sisi lain kompetisi dan persaingan ini akan menjadi tidak sehat karena membuahkan perilaku budaya baru yang disebut dengan budaya “pamer” dengan menggunakan ke-kuatan ekonomi. Karena budaya “pamer” ini tidak sesuai dengan budaya Jawa yang berusaha untuk konform dengan lingkungan sekitar. Dalam hal ini, orang mencari penga-kuan dan kehormatan melalui kekayaannya. Data di atas sesuai dengan sinyalemen Saefullah (1994:40) yang menyatakan penggunaan uang untuk membeli tanah, mendirikan rumah, membeli sepeda motor, dan alat-alat rumah tangga modern tam-paknya terdorong oleh apirasi mobilitas sosial.

Kedelapan, pengaruh urbanisasi juga nampak pada kebiasaan berpakaian dan makan. Perubahan dalam hal berpakaian tidak semata-mata karena evolusi alamiah, melainkan juga karena ada kontak dengan dunia luar atau ada pihak yang memper-kenalkan. Media massa dan iklan dapat mempengaruhi kebiasaan masyarakat dalam berpakaian dan makan, tetapi dampaknya tidak akan efektif apabila tidak ada orang yang memberikan contoh nyata dalam kesehariannya. Setelah melihat cara-cara baru berpakaian dan mengenal macam-macam makanan modern sekembalinya ke desa diperlihatkan kepada orang-orang desa.

Kesembilan, perubahan juga nampak pada pergaulan remaja, serta interaksi antara generasi muda dengan orang tua. Dari sisi positif, urbanisasi mendorong penduduk untuk memperluas pergaulan dan penga-laman, dengan akibat lebih lanjut pada keinginan mereka untuk meningkatkan ke-mampuan diri. Sedangkan di pihak lain sebagian remaja yang pergi ke kota mem-bawa kebiasaan baru yang bersifat negatif yang diperolehnya di kota seperti minum-minuman yang mengandung alkohol, ber-judi. Dampak negatif yang lain adalah mulai berkurangnya penghormatan terhadap orang tua. Memang hanya sedikit warga Desa Jetis yang melakukan kegiatan negatif semacam itu, meskipun demikian perilakunya dapat mengganggu kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal interaksi antara generasi muda dengn orang tua seringkali ditemui adanya kesenjangan, baik dalam hal nilai, norma dan berakibat pada perilaku kesehariannya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan di atas adalah urbanisasi diakibatkan oleh beberapa faktor seperti industrialisasi, potensi pasar, kemajuan transportasi, tarikan social cultural, kemjuan pendidikan, perpindahan penduduk dan pertumbuhan penduduk. Urbanisasi juga mengalami beberapa proses yaitu centripetal process, centrifugal process dan vertical process. Sementara itu di negara berkembang urbanisasi lebih menimbulkan efek negatif seperti munculnya pemukiman kumuh, kemiskinan, dan kesejahteraan sosial. Dampak bagi kehidupan sosial budaya masyarakatnya antara lain kesadaran pentingnya pendidikan, perubahan peran wanita dalam rumah tangga, kemajuaan lembaga keluarga, perubahan kerangka pemikiran masyarakat, hubungan kekeluargan, kesejahteraan keluarga, meningkatkan keinginan untuk berkompetisi, pergeseran cara berpakaian dan pergaulan remaja.

Untuk mengurangi dampak negatif dari urbanisasi terutama terkait dengan perpindahan dan konsentrasi penduduk di Kota Surabaya maka pemerintah perlu melakukan Di Indonesia, kita juga cenderung melakukan perencanaan yang terpisah antara kota dan desa. Hal ini merupakan kekeliruan yang umum dijumpai dalam perencanaan pembangunan di negara-negara berkembang, meskipun upaya-upaya untuk menggabungkan kota dan desa juga sudah lama dilakukan.

Debat tentang sifat relasi desa kota (rural-urban relations) merupakan topik yang hangat dalam konsep teori dan perencanaan pembangunan. Pada era 1950-an, yang menjadi pertanyaan dalam debat-debat para ahli adalah apakah kota berperan sebagai parasit (parasitic) atau pendorong (generative) dalam hubungannya dengan desa hinterland-nya (Douglass, 1998). Lalu, pada 1970-an timbul sikap bahwa bagaimanapun kota telah menjadi solusi dari permasalahan desa, meskipun tetap diakui bahwa fenomena “urban bias” memang terjadi dalam pembangunan desa.

Bertolak dari ketidakpuasan tersebut, mulai era 1970-an sampai 1980-an diupayakan menemukan formula “urban functions in rural development”, yang lalu melahirkan konsep pembangunan desa secara terintegrasi (Integrated Rural Development/IRD) (Douglass, 1998). Disini diakui peran penting pembangunan desa, dan disepakati pula bahwa pembangunan desa mesti dilihat secara multi-faceted yang mencakup tidak hanya aktifitas pertanian namun juga non pertanian yang berkaitan secara langsung maupun tidak (off-farm dan non-farm).

Pada era 1970-an sesungguhnya sudah pula digali peran kota dalam pembangunan desa, yaitu bagaimana mengoptimalkan peran “kota kecil” (rural towns) yang diyakini berpotensi untuk menjembatani kesenjangan antara kota besar dengan desa (Douglass, 1998). Pembangunan kota kecil dimaksud adalah untuk mengoptimalkan "urban functions in rural development approach" (UFRD), dimana perlu disusun peran pembangunan desa terhadap kota kecil maupun kota besar. Hal ini merupakan perencanaan yang disusun dari sisi pandang desa terhadap peran kota.

Salah satu konsep yang lahir dari pemikiran ini adalah konsep “agropolitan” (Friedmann and Douglass, 1975). Dalam agropolitan, diajukan pemikiran bahwa pembangunan pedesaan terbaik akan dicapai dengan membangun keterkaitan desa dengan pembangunan kota pada level lokal. Ini membutuhkan tiga hal yaitu akses terhadap lahan dan air, penguatan otoritas politik dan administrasi pada level lokal, dan perubahan kebijakan nasional dalam mendukung diversifikasi produksi pertanian.

Program pengembangm kawasan agropolitan di Indonesia melibatkan sekaligus beberapa departemen, terutama Departemen PU untuk penyediaan prasarana dan Departemen Pertanian untuk aktivitas ekonominya. Program agropolitan di Selupu Rejang (Bengkulu) misalnya, yang dipadukan dengan kawasan agrowisata, dilaporkan telah mampu memberikan nilai tambah bagi pendapatan masyarakat (Departemen PU, 2007). Program ini telah berhasil menarik wisatawan baik domestik maupun mancanegara untuk berkunjung dan berbelanja sayuran secara Iangsung.

Lebih luas, Boraine (2005) mengingatkan bahwa dalam upaya menyusun kebijakan nasional yang mengintegrasikan pembangunan kota dan desa dibutuhkan perspektif tentang pembangunan kota, desa, dan regional sebagai bagian dari kebijakan ekonomi dan sosial nasional. Bersamaan dengan itu, sikap yang embivalen harus diganti dengan sikap yang sensitif terhadap kespesifikan kota dan desa, serta dengan memahami keterkaitan antara aspek ekonomi dengan demografi, dukungan untuk apa yang disebut dengan “cities” (kota besar) and “towns” (kota kecil).

Dari sisi kota, membangun keterkaitan desa-kota dalam strategi pembangunan kota membutuhkan perluasan dari konsep dari wilayah kota (city-region), pengembangan dimensi desa terhadap pembangunan wilayah kota, pembangunan pinggiran kota (peri-urban), dan peran intermediasi dengan kota kecil. Di sisi lain, para pengambil kebijakan perlu terus menyadari bahwa pada hakekatnya keterkaitan (linkages), sistem dan jaringan (networks) bukanlah suatu batas yang statis. Karena itu, strategi yang dikembangkan juga harus dinamis dan terbuka untuk dibicarakan.

Sebaliknya, dari sisi desa, sebagaimana dituangkan misalnya dalam konsep Integrated Rural and Regional Development (IRRD), yaitu upaya mengintegrasikan desa dengan pembangunan wilayah. Pembangunan pedesaan (rural development) adalah sebuah proses, dimana banyak pelaku dari berbagasi sektor terlibat. Kita tidak dapat hanya menggunakan pendekatan sector-specific models, misalnya berupa pendekatan demografis, ekonomi, politik, ekologi, dan bio-geofisik secara terpisah-pisah. Namun, memadukan pendekatan-pendekatan tunggal juga tidak akan memadai. Salah satu opsi adalah dengan menggunakan pendekatan multi-sector analysis and planning of rural development. Alat ini mencakup berbagai displin, dimana data dan informasi diorganisasikan, sehingga para ahli dari berbagai latar belakang dapat menganalisisnya (ERD, 2007).

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates